Tingkatan lafadz menurut ketidakjelasan menurut hanafiyah
BAB I
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana Telah kita ketahui dalam Al-qur’an kita dapat menemukan
segala tentang hukum-hukum yang telah dibenarkan oleh Allah. Oleh karena itu
pada pembahasan sekarang ini, kami akan membahas ketidak jelasan hukum
menurut pendapat ulama, baik dari
hanafiyah dan mutakallimin.
B. RUMUSAN MASALAH
A.
Tingkatan Lafadz Menurut Ketidakjelasan Menurut
Hanafiyah :
1.
Khafi
2.
Musykil
3.
Mujmal
4.
Mutasyabih
B.
Pembagian lafadz ditinjau dari
segi ketidakjelasannya menurut ulama mutakallimin.
PEMBAHASAN
A. Tingkatan
Lafadz Menurut Ketidakjelasan Menurut Hanafiyah
Nash yang tidak jelas
petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan makna
yang dimaksud, tetapi dalam pemahamannya membutuhkan unsur dari luar. Dan para
ulama ushul fiqih membagi dilalah menjadi empat bagian yaitu[1]:
1.
Khafi
menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan
menurut istilah adalah suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena
hal baru yang ada diluar lafazh itu sendiri, sehingga lafazh itu perlu diteliti
dengan cermat dan mendalam.[2] Khafi
juga dapat diartikan
مَا خَفِيَ مَدْ لُوْ لُهُ بِغَا رِضٍ غَيْرِ الصِّفَةِ
Artinya: Lafal yang tersembunyi madlulnya dengan sesuatu
sebab yang bukan lafal itu, tetapi dari penerapannya atas petunjuknya.
Atau
مَا خَفِيَ مَعْنَاهُ فِي بَعْضِ مَدْ لُوْلاَتِهِ بِعَا رِضٍ غَيْرِ
الصِّيْغَةِ
Artinya: suatu lafal yang sama artinya dalam sebagian penunjukannya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari sighat lafal.[3]
menurut
abd.al-wahab Khallap ,ahli Ushul fiqh berkebangsaan mesir adalah:
اللفظ الّذي يدلّ معناه دلا لة ظاهرة ولكن في انطباق معناه علي بعض
الأفراد نوع غموض وخفاء تحتاج إزالته الي نظر وتا مل
lafal
yang dari segi penunjuknya kepada makna adalah jelas ,namun ketidak jelasan
timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu.ketidak jelasan
itu disebabkan karna bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang di
tunjukan oleh suatu dalil.[4]
Menurut istilah ulama ushul adalah
lafal yang menunjukan makna secara jelas ,tetapi dalam menerpakan arti kepada
bagian satuannya mengandung kesamaran dan ketidak jelasan, yang untuk
menghilangkannya membutuhkan pemikiran dan fikiran yang matang ,sehingga lafal
itu di anggap samar dari segi penerapan arti kepada bagian satuannya .
Menurut
Muhammad adib salih, ( 1982 : 230 ). Tegasnya lafazh zahir itu
menjadi khafa bila diterapkan dengan masalah lain. Adapun contohnya
adalah
السارق والسا رقة فاقطعوا ايديهما
Pada mulanya lafazh as sariq itu tegas,
yaitu orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam
untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara, ini dinamakan pencuri,
pencopet, korupsi, dan lain-lain.[5]
Lafal yang ditunjukan maknanya jelas
pada diri lafal tersebut ,tetapi menjadi samar karna ada faktor lain yang
menyamarkannya .hal ini disebabkan adanya sebagian lafal khafi yang
dipergunakan untuk menunjukan makna yang spesifik .Contohnya lafal khafi
,misalnya as-sariq (pencuri):
والسارق والسا رقة فاقطعوا ايديهما
Artinya:
adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya....( QS. Al-Maidah : 38 )
pada dasarnya ayat itu menunjukan pengertian dan makna yang jelas
,yaitu mengambil sejumlah harta orang lain yang tersimpan denga baik dengan
cara diam-diam.tetapi kata as-sariq dapat juga menunjukan ath-tharrar(pencopet
).dimana kita tau kalau pencuri mengambil secara diam-diam sedangkan mencopet
secara terang –terangan.[6]
Namun dalam contoh yang lain
والسارق والسا رقة فاقطعوا ايديهما
Artinya:
adapun orang laki-laki maupun perempuan yag mencuri, potonglah tangan keduanya....(
QS. Al-Maidah : 38 )
Dalam
hal ini ulama berbeda pendapat:
-
Ulama
Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak
termasuk dalam arti lafal pencuri, sehingga tidak dikenakan potong tangan .
sebabnya adalah :
a.
Benda
yang diambil tidak termasuk benda yang
disukai.
b.
Benda
yang diambil tidak terdapat di tempat penyimpanan.
c.
Benda
yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan milik maya dan bukan milik ahli waris.
-
Ulama
Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf, menyatakan bahwa Nubasy termasuk
kedalam arti lafal pencuri, oleh karena itu
ia dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya, dengan sebabnya adalah:
a.
Bahwa pengambilan benda itu dilakukan disaat
sepi.
b.
Bahwa
tempat penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya.[7]
2.
Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaanya, sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Sarkhsi ialah, suatu
lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil
qarinah ( As-Sarakhsi, I, 1372 H: 168. Musykil juga diartikan.[8]
ما خفي معناه بسبب في ذات اللفظ
Suatu
lafal ynag samar artinya, disebabkan oleh lafal itu sendiri.
atau
ما خفي مد لو له لتعدّ دالمعاني الّتي يستعمل فيها مع العلم بانّ
اللفظ مشترك فيها او هو فيها مجاز
Lafal yang tersembunyi madlulnya karena berbilang maknanya
disebabkan lafal musytarak atau mempunyai majaz.[9]
dalam istilah ushul ialah lafadz yang ditunjukan dengn sighat apa
yang dimaksudnya itu tapi tidak dapat qarinah luar yang menerangkan apa yang
dimaksudnya itu.sebab kesamaran dalam musyakil adalah dari lafal itu sendiri
karena ia secara bahasa memiliki makna lebih dari satu.[10]
misalnya lafal quru’(jamak dari
qur’un)dalam ayat 228 surat Al-baqarah :
والمطلقت
يتربّصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء.....
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali
quru.......(QS.Al-baqarah /2:228)
Kata quru’dalam ayat tersebut dalam
pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa masa haid. Imam Syafi’i
mengartikannya dengan masa suci sedangkan Abu hanifah mengartikannya dengan
masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu berdasarkan pada
dalil dari luar yang berbeda pula.[11]
Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan
kelompok mujtahid yang lian berpendapat haid. dengan qorinah:
a.
Meyakinkan
bersihnya rahim dari bibit kehamilan dan untuk mengetahui hal ini haid bukan
suci
b.
Firman
Allah. Artinya Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara
perempuan-perempuan, jika kamu ragu, maka iddah mereka adalah 3 bulan, dan
begitu pula perempuan yang tidak haid. (QS.Thalaq: 4)[12]
c.
Sabda
Rosulullah SAW
طلا ق الأمة اثنتان وعدتها حيضتان
3.
Mujmal
Mujmal adalah:
اللفظ الّذ ينطوي معناه علي عدّة احوال
واحكام قد جمعت فيه
Lafal yang
maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberpa hukum yang terkumpul di dalam
nya.
Atau
ماخفي
المرادمنه لتعدّد معا نيه ولا يعرف الاّ با لبيان
Sesuatu yang
tersembunyi yang di kehendaki karna banyak makna dan tidak bisa diketahui kalau
tidak melalui penjelasan.[14]
Mujmal adalah
suatu lafal yang samar tunjukan maknanya, karena memang dari lafal itu sendiri
tidak dapat petujuk tentang makna
tertentu yang dimaksud olehnya, dan tidak ada cara untuk mengetahui maknanya
yang spesifik kecuali dengan penjelasan
langsung dari yang menggunakan lafal tersebut.[15]
Mujmal dalam
bahasa global atau tidak terperinci.menurut istilah adalh lafadz yang tidak
bisa difahami maksudnya .kecuali ada penafsiran dari pembuat Mujmal (syari’) (As-Sarakhasi,1,1372 H :168).
Dengan demikian
,dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafanya dari pada musykil,sebab
penjelasan mujmal di peroleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.[16]
Menurut hanafiyah adalah lafal yang
mengandung makna secara global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak
dapat di ketahui dari pengertian lafal itu sendiri seperti istilah-istilah
khusus dalam pemakaian syara’ misalnya lafal shalat, zakat, dan haji dan
lain-lain lagi lafal yang bukan dimaksud semata-mata pengertiannya secara
bahasa tetapi pengertian khusus sacara syarak.[17]
Apabila terdapat lafaz mujmal pada
nash syar’i sebelum ditafsirkan oleh syar’i itu sendiri, untuk itu dikemukakan
oleh sunah amaliyah dan qauliyah, menafsirkan sembahyang dan menerangkan
rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan cara-caranya. Apabila pernyataan itu bersumber
dari syar’i tentang ijma’, tapi pernyataan itu tidak cukup untuk menghilangkan
ijmal maka hal ini akan menjadi masalah yang sulit. Disini terbukalah jalan
untuk membahas dan berijtihad, unutk menghilangkan kesulitan itu. Pernyataan
ini tidak akan berhenti denagn mengembalikan kepada syar’i. Ketika syar’i
menerangkan apa yang diijmalkan itu, maka sebagian pernyataan itu membuka pintu
untuk melakukan ijtihad dan memperhatikan sungguh-sungguh.[18]
Lafal mujmal adalah lafal yang
digunakan oleh syar’i dari makna bahasa dan digunakan makna istilah yang
bersifat syara’. Seprti lafal sholat, zakat, shiyam, haji, dan riba. Semuanya
digunakan makna syara’ bukan makna bahasa.
Dan diantara lafal yang mujmal adalah
-
Lafal
asing yang dijelaskan oleh nash itu sendiri dengan arti khusus
-
Lafal
Al-Haluu’
-
Lafal
Aslul Auqof (sumber wakaf)
-
Lafal
al ahwaall asy syakhshiyyah (keadaan pribadi)
-
Lafal
dhabthul isyhaadaat wa kitaabatu sanadaatihaa wa tasjiiluhaa (pencatatan
persaksian, penulisan sumber kesaksian, dan pembukuannya).
Setiap lafal
yang artinya tidak dapat difahami dari lafal itu sendiri, jika tidak ada alasan
yang meliputi dengan alasan itu dapat diketahui maknanya, maka disebut mujmal.[19]
Contohnya
dalam surah al-qori’ah ayat 1-4
القارعة (1) ما
القارعة (2) وما ادراك ماالقارعة (3) يوم يكون النّاس كا الفراش المبثوث (4)
Artinya: hari kiamat (1) apakah hari kiamat itu??(2) tahukah kamu
apa hari kiamat itu??(3) pada hari itu manusia adalah seperti anak-anak yang
bertebaran (4) (QS.Al-Qori’ah: 1-4)
4.
Mutasyabih
Menurut
bahasa adalah sesutu yang mempunyai kemiripan dan atau simpang siur:menurut
istilah ,berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suartu lafadz yang maknanya
tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syiara’bail al-qur’an mmaupun
sunnah sehinggah tidak bisa diketahui semua orang ,keculai orang-orang yang
mendalam ilmu pengetahuannya (Asy-Syarakhsi,1,1372H:169).
Sebagian lain mendefinisikan bahwa
mutasyabih adalah suatu lafadz yang mempuyai beberapa kemungkinan artinya dan
simpang- siur antara dua arti atau lebih.[20]
Mutasyabih dalam istilah hukum adalah
اللفظ
الّذي يخفي معناه ولا سبيل لأنّ تدركه عقول العلماء
Lafal yang samar
artinya dan tidak ada cara yang dapat digunkan untuk mencapai artinya.
Atau
ما
خفي المرادمنه بحيث لايرجي معرفته في الدّنيا لأحد او لا ترجي الاّ للّرا سخين
فالعلم
Lafal yang
tersembunyi yang dikehendaki yang tidak dapat diharap dapat diketahui atau
hanya dapat difahami oleh para ahli saja.[21]
Mutasyabih berasal
dari kata شهد menurut bahasa adalah
keserupaan, yaitu bila salah satu dari dua hal yang serupa dengan yang lain. Shubhat adalah keadaan dimana satu dari dua
hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara
keduanya secara kongkrit atau abstark. Menurut Imam Asy Sayuthi dalam karyannya
Al-Itqan menjelaskan bahwa mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas,
dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat. Dengan kata
lian mutasyabih adalah kalimat yang masih global maknanya atau masih
membutuhkan takwil.[22]
Hanafiyah mendefenisikan mutasyabih
dengan suatu lafal dan tidak menunjukkan suatu kejelasan maknanya, dan tidak
pula ada tanda-tanda atau dalil-dalil yang menjelaskannya. Pihak yang mengetahui
maksudnya hanyalah pembuat syariat itu sendiri.
Menurut abdul wahab khalaf, mutasyabih dalam pengertan ini tidak
ditemukan ayat-ayat hukum, tetapi dalam ayart-ayat bentuk lain seperti dalam
bentuk huruf-huruf terpotong-potong yang biasanya terletak diawal surah
misalnya alif, lam, mim, yang terletak diawal surah.[23]
Menurut istilah ulama ushul adalah
lafal yang bentuknya itu sendiri menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak
ada alasan yang mendukung dari luar yang menjelaskannya dan syar’i dengan
ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.
Akan tetapi al-mutasyabih denagn pengertian ini sedikitpun tidak
terdapat dalam nash syara’. Maka dalam ayat-ayat dan hadis-hadis hukum tidak
terdaapat lapal mutasyabih yang tidak ada cara untuk mengetahui artinya akan
tetapi dalam beberapa bagian nash terdapat huruf yang terpotong-potong pada
permulaan sebagian surah dan seperti ayat yang secara lahirnya bermakna Allah
menyerupai makhluk dengan memilki mata, tangan dan bertempat seperti firman
Allah :
يد الله فوق
أيديهم
Artinya: Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S AL FATH: 10).
واصنع الفلك
بأعيننا
Artinya: dan buatlah bahtera denagn pengawasan dan petunjuk kami
(QS.HUDD: 37).
B.
Pembagian
Lafadz Ditinjau Dari Segi Ketidak jelasannya Menurut Ulama Mutakallimin
Mereka membagi lafadz ini dalam dua bagian ,yaitu mujmal dan
mutasyabih .mereka pun berbeda-beda dalam memberikan definisi dari
masing-masing kedua istilah tersebut ,namun secara umum dapat dikatakian bahwa
yang dimaksud mujmal adalah suatu lafadz yang menunjukan makna yang dimaksud
tetapi petunjuknya tidak jelas .
اللفظ الذي د لّ
علي المعني المراد دلا لة واضحة
Artinya
:
“suatu
lafadz yang menunjukan makna yang dimaksud secara jelas “Makna pada lafadz
muawwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna yang terdapat pada lafadz mujmal
adakah kuat (rajih) (Al-Asnawi,1:61).[24]
KESIMPULAN
1.
Khafi
adalah Lafal yang tersembunyi madlulnya dengan
sesuatu sebab yang bukan lafal itu, tetapi dari penerapannya atas petunjuknya.
2.
Musykil
adalah Suatu lafal ynag samar artinya, disebabkan oleh lafal itu sendiri.
3.
Mujmal
adalah lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberpa hukum
yang terkumpul di dalam nya.
4.
Mutasyabih
adalah lafal yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunkan untuk
mencapai artinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd, Rahman Dahlan, ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010, Hal.
263
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Pustaka
Amani.2003
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta, Amzah, 2008, Cet 3, Hal. 210
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia,
2007. Cet 3
Satria Effendi, Ushul Fiqih, Jakarta, Perdana Media, 2005
Totok Jjumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,
Amzah, 2009, cet 2
[1]
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam (Terjemahan),
Pustaka Amani, Jakarta, 1977, hal. 244
[2]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2007. Cet 3
[3]
Totok jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,
2009, cet 2
[4]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, Jakarta, Perdana Media, 2005
[6]Abd,
Rahman Dahlan, ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010, Hal. 263
[8]Rachmat Syafe'I, Op.Cit,Hal.165
[10]Syekh
Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit, Hal,
[11]
Satria Effendi, Op Cit, Hal. 227
[12]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Pustaka Amani.2003
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit, Hal. 250
[17]
Satria Effendi, Op Cit, Hal. 228
[18]
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit, Hal,
[19]
Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit, Hal. 251-252
[22]
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus
Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Amzah, 2008, Cet 3, Hal. 210
[23]
Satria Effendi, Op Cit, Hal. 228
[24]
Rachmat Syafe'I, Op.Cit,Hal,
167-168
Komentar
Posting Komentar