Hadits Mubham dan Majhul
A. Pembahasan Tentang al-Jahalah (MAJHUL)
Definisi
Kata Jahalah
secara bahasa adlah lawan kata dari “mengetahui”. Sedangkan lafadh Al-Jahalatu
bir-Rawi artinya : “ketidaktahuan akan kondisi perawi”.
Sebab-Sebab
Ketidaktahuan akan Kondisi Perawi
·
Banyaknya sebutan untuk
perawi. Mulai dari nama, kunyah, gelar, sifat, pekerjaan, sampai
nasabnya. Bisa jadi seorang perawi terkenal dengan salah satu dari yang
disebutkan di atas, kemudian ia disebut dengan sebutan yang tidak terkenal
untuk suatu tujuan tertentu, sehingga ia dikira sebagai perawi lain. Misalnya
seorang perawi yang bernama “Muhammad bin As-Sa’ib bin Bisyr Al-Kalbi”.
Sebagian ulama ahli hadits menghubungkan namanya dengan nama kakeknya, sebagian
lain menamakannya dengan “Hammad bin As-Sa’ib”, sedangkan sebagian yang lain
memberikan kunyah dengan Abu An-Nadhr, Abu Sa’id, dan Abu Hisyam.
·
Sedikitnya riwayat
seorang perawi dan sedikit pula orang yang meriwayatkan hadits darinya. Seperti
seorang perawi yang bernama Abu Al-Asyra’ Ad-Daarimi. Ia merupakan salah satu
ulama tabi’in. Tidak ada orang yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Hammad
bin Salamah.
·
Ketidakjelasan
penyebutan namanya. Seperti seorang perawi yang berkata : “Seseorang”; atau
“Syaikh”; atau sebutan yang lain : “Telah mengkhabarkan kepadaku”.
Adanya rawi yang
tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab ditolak-nya suatu
riwayat. Jahalah
terbagi menjadi dua bagian;
1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap
orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan
tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya
Di antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain
adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya
hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa
ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362),
“Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga,
dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama
Hafsh.
2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis
darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak
mengemukakan jarh wa ta’dilnya.
Di antara orang yang
disebut-sebut termasuk ke dalam golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin
Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya-
tetapi pendapat yang mu’tabar tidak dianggap siqah
Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?
Mayoritas ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul
hal ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang
membedakan antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih
ringan daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi
yang majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau
lebih kuat, maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena
berkumpulnya dua jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah
(adanya penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya
termasuk ke dalam kategori berat.
Contoh Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),
حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ
هَاشِمٍ بْنِ عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ
أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu Luhai’ah menceritakan
kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash, dari Saib bin
Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa Nabi saw apabila
berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya dengan kedua
tangannya.
Hafsh bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan
di muka.
Contoh hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di
dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari
شَرِيْكٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ
عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur,
bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual
Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.
Buku-Buku yang Membahas
Tentang Sebab-Sebab yang Membuat Perawi Tidak Dikenal
·
Muwadldlih Awham Al-Jam’I
wat-Tafriq karya Al-Khathib Al-Baghdadi. Buku ini membahas
tentang sebutan-sebutan para perawi hadits.
·
Al-Wihad karya Imam Muslim. Buku ini membahas tentang riwayat perawi yang jumlahnya
sedikit.
·
Al-Asmaa’ul-Mubham
fil-Anbaa Al-Muhkam karya Al-Khathib
Al-Baghdadi. Buku ini membahas tentang nama-nama para perawi yang disebut
dengan tidak jelas.
Pedoman Menolak Hadits Majhul
[Syaikh Al-Albani dalam Tamaamul-Minnah]
Al-Khathib berkata
dalam Al-Kifaayah (halaman 88) : “Al-Majhul menurut ahli hadits
adalah orang yang tidak populer sebagai penuntut ilmu dan tidak dikenal oleh
para ulama. Orang ini hanya meriwayatkan hadits dari satu rawi/sumber”.
Kemajhulan ini akan
terangkat paling sedikit karena adanya dua atau lebih perawi terkenal
keilmuannya yang meriwayatkan hadits darinya.
Aku (Syaikh Al-Albani)
berkata : Tetapi keadilan itu tidak dapat ditentukan oleh
riwayat dua perawi itu. Ada sekelompok orang menduga keadilan dapat ditentukan
dengan cara demikian. Kemudian Al-Khathib menjelaskan rusaknya pendapat mereka
dalam bab khusus setelah ini. Bagi orang yang berminat dapat melihatnya.
Aku (Syaikh Al-Albani)
berkata : Orang yang majhul (tidak dikenal) yang hanya
satu orang perawi meriwayatkan darinya itulah yang dikenal dengan majhul
‘ain. Kemajhulan ini akan terangkat oleh adanya dua atau lebih perawi
darinya. Ini yang disebut majhul haaldan mastur (tertutup), dan
riwayatnya diterima oleh jama’ah tanpa ikatan dan ditolak oleh jumhur seperti
dijelaskan dalam syarhun-Nukhbah (halaman 24) : “Sesungguhnya riwayat
rawi yang mastur dan sejenisnya mengandung beberapa kemungkinan, tidak
dapat ditolak atau diterima secara mutlak. Tetapi ia bergantung kepada
kejelasan keadaan perawi, seperti yang diyakini oleh Imam Al-Haramian”.
Saya (Syaikh Al-Albani)
berkata : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari
adanya tautsiq (pengakuan terpercaya) dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya.
Dalam pernyataannya (yaitu Al-Hafidh) bahwa majhul haal adalah orang
yang teriwayatkan haditsnya oleh dua orang atau lebih perawi, tetapi tidak ada
pengakuan terpercaya. Saya mengatakan : Imam yang diakui tautsiq-nya,
karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya,
seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi para ahli hadits pada umumnya. Ini
akan saya jelaskan dalam pedoman berikutnya.
Memang benar bahwa
riwayat majhul dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi
terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur
pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh ulama muta’akhkhiriin seperti ibnu
Katsir, Al-‘Asqalani, dan yang lainnya.
B. Hadis Mubham
Definisi
الْمُبْهَمُ مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ
Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam
sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan
(3790) dengan jalan
عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan
pendosa penipu lagi keji
Rawi di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan,
atau penyakit, juga termasuk mubham.
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari
مَحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي
اْلأَنْصَارِي أَنَّ رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ
Muhammad bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari
berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis
tentang shalat tasbih.
Mubham matan.
Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak
mempengaruhi kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak
terdapat pada sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad
dari Jabir;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ
قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا
عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ
النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ
وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ
فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ
لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ
الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي
ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama
Rasulullah saw, beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah,
kemudian berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada
Allah, dan mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan
mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka
beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah
karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu
berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita, yang
kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa
demikian, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan
ingkar kepada kepada suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian
perhiasan mereka yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke
dalam kain Bilal
Disembunyikannya nama
wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan hadis,
karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.
Hukum Hadis Mubham
a. Hadits mubham yang terdapat pada sanad ialah termasuk
Hadits Dha’if, karena itu tidak maqbul. Dasar penolakan hadits mubham pada
sanad ini, ialah ketiadaan dikenal nama dan pribadi si-rawy itu sekaligus tidak
dapat dietahui identitasnya, apakah ia seorang yang dipercaya atau bukan.
Biarpun hadits mubham pada sanad itu mengguankan lafadz penyampaian berita yang
daat difahamkan adanya arti kepercayaan, seperti lafadh haddatsana-tsiqatun
atau haddatsana’adlun (telah bercerita kepadaku seorang yang dipercaya
atau adil), namun menurut pendapat yang lebih kuat, belum juga diterima sebagai
hadits yang maqbul.
b. Berlainan halnya dengan hadits mubham yang terdapat pada matan, tidak
ditolak secara mutlak. Hadits itu masih dapat diterima sebagi hujjah, asalkan
memenuhi syarat penerimaan dapat sauatu haditshadits. Sebab yang tidak
dijelaskan namanya dalam matan hadits tidak dijadikan sandaran untuk menimbang
shahih atau dhaifnya suatu hadits, tetapi ia hanya menjadi objek dalam riwayat,
bukan subjek yang meriwayatkan.
c. Hukum kedua hadits majhul dan ma’tsur pada prinsipnya adalah dha’if.
Tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi kalau hadits tersebut mempunyai
muttabi’ atau syahid yang tidak sedikit jumlahnya, maka naiklah ia menjadi
hadits hasan lighairih.
Referensi
Kitab Asli
Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil
Mubtadi'in
Komentar
Posting Komentar